Minggu, 01 April 2012

Cerpen : Lukisan Lima Bocah

Lukisan Lima Bocah
Cerpen Karya Zamroni Allief Billah.

Desau angin pagi mengelus daun jati, menjadi harmoni pagi membangunkanku dari lelah setelah semalam lekat memahat masa depan dan bertukar cerita tentang masa lalu, di pantai sebelah rumahmu.

Berkecipak langkah di atas tanah becek, menyusuri pematang sawah sekat alam antara laut dan rumah - rumah. Padi yang sebentar lagi panen, menguning berkilau di bawah sinaran bulan. Purnama kali ini benarbenar berbeda sebab telah mengantarkan kita pada sebuah perkenalan mendalam, memahami arti masingmasing mimpi.

Datang dari kedalaman hutan, aku hadir atas undannganmu yang tinggal beberapa ratus meter dari laut jawa, menyapamu untuk sebuah harapan. Sebelum malam menenggelamkan kita dalam sebuah impian, terlebih dahulu kau petik gitar yang sengaja kita bawa. Gitar yang sudah tidak lagi berwarna bekas sentuhan tanganmu atau tangan siapa saja yang barangkali sekedar bernyanyi atau berpuisi.

"Petik gitarmu, aku ingin berpuisi," kataku. Tanpa bicara kau petik gitarmu lalu kubaca perlahan sebuah geguritan yang kubuat belum genap sebulan. Lalu Perjalanan Kata, mengakhiri puisi yang kubaca.

"Sepanjang perjalanku sore tadi," ucapaku mengawali percakapan setelah beberapa judul puisi terbaca "dalam deru vespa tua yang kukendarai menujumu, aku mendapatkan inspirasi tidak untuk sebuah puisi. Kulihat lima bocah mengelilingi gundukan tanah."

"Gundukan tanah?" katamu bertanya. Tak peduli pertanyaanmu, kulanjutkan bercerita tentang keinginanku untuk menumpahkan rasaku di kanvas sebagaimana kau selama ini berkarya.

"Aku melihat sebuah rahasia yang hanya dimengerti oleh orangorang suci, tentang sebuah rahasia tiap pribadi yang entah terkadang Tuhan membiarkan kita bersembunyi di balik bajubaju yang sengaja tidak kita lepaskan untuk sebuah pencitraan, juga terkadang sebuah jebakan fitnah yang turun temurun tanpa sebuah klarifikasi yang sempat kita jelaskan atau tak hendak kita sampaikan. Di sinilah aku melihat kemaha besaran Tuhan dalam menutupi atau membiarkan kita larut pada sebuah keadaan yang akan memberikan kita kekuatan bila mampu mengambil hikmah dari setiap kejadian."

Aku mendengar desahmu antara debur ombak yang tak henti menjadi pengiring percakapan dalam terpaan sinar bulan yang benarbenar purnama. Kakikaki kita basah tanpa tahu ombak yang mana yang telah menyapa bersama semilir angin laut dan malam semakin larut bersama cerita yang terrangterangan kita buka, tentang masa lalu dan masa depan.

"Aku berharap suatu saat kita pameran bersama," ucapmu memecah hening setelah kita tenggelam di masingmasing entah perenungan mana, saling diam, tenggelam dalam harmoni malam.

"Tapi belum sekalipun aku benarbenar pernah serius mencoba," ucapku datar menutupi kegelisahanku menerima tawarannya yang sudah puluhan bahkan mungkin ratusan kali mengadakan pameran lukisan di dalam dan luar negeri.

"Tidak kawan! Justru sebab engkau belum pernah, maka kini kau mesti mencoba. Karena tidak sekedar sebuah lukisan yang kita pamerkan tapi bukankah kita sepakat untuk mengusung sebuah nilai dari setiap jejak jengkal penafsiran dari penghayatan di tiap kejadian. Kapan bila tidak sekarang engkau memberi warna kehidupan? Sebab lukisan bukan sekedar gambaran dan harmoni warna tapi lebih kepada bagaimana kita mampu menorehkan warna di kanvas kehidupan dalam hiruk pikuk dunia yang semakin tidak jelas warnanya!" ucapmu bersemangat tak memberiku ruang untuk mengelak.

Lalu kita kembali diam menyusuri ruangruang hati yang tak hendak kita persatukan dalam sebuah goresan atau tulisan. Menyisir kegelisahan akan purnama, masihkah di bulan depan mampu jumpai harmoni. Sebab lautan sudah mulai kehilangan pantai untuk kita, sekedar mengurai penat rasa. Juga kekhawatiran masihkah hutan ini yang tiap paginya selalu membangunkanku dengan nyanyian antara gesek dedaunan.

Bila rerimbun daun juga ilalang habis terbakar perubahan dan gununggunung habis terkikis pembangunan, kemana lagi mencari air yang selama ini mengalir jernih antara bebatuan dan akarakar pohon lalu membelah sawahsawah. Meninggalkan jejak cinta di bening sungai yang tak henti menyapa kita dengan gemericik air menyentuh bebatuan?

Sebelum benar-benar pagi lalu kita bergegas ke masing-masing rumah dan istri yang masih lelap meniti mimpi. Mampukah kau sejenak memejamkan mata untuk persiapan lanjutkan perjalanan esok hari pada sebuah siang yang terik di kental aroma pesisir atau sekedar sejenak membayangkan bahwa suatu saat kau yang hadir mendatangiku bersama anak isterimu menyusuri rerimbun hutan jati yang mulai meranggas menyongsong kemarau sebentar lagi. Sebelum lelap dalam mimpi, kulambaikan tangan mengucap selamat pagi menyapa lima bocah mengelilingi gundukan tanah, dari sebuah lukisan yang baru saja kuselesaikan.

NB : Disadur dari Ruang Sastra MyOkeZone.

Anda memiliki karya sastra cerpen hasil karya pribadi yang ingin anda tampilkan diruang portal Berita Terbaru - Poztmo.com? Jangan segan, segera kirimkan karya Cerpen anda ke :
dudi.jaya.1977@gmail.com
Karya akan yang layak akan kami tampilkan di situs ini.